Dauztech.blogspot.com

DT

Rabu, 19 Maret 2014

Reformasi Hukum Pertanahan di Indonesia Dalam Konteks Kekinian

Bab I. Pendahuluan
“Air, tanah, dan udara adalah milik negara dan dimanfaatkan seluas-luasnya oleh negara bagi kepentingan rakyat banyak”. Demikian bunyi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Para Pemimpin Bangsa merumuskan pasal ini untuk menjamin distribusi kekayaan alam yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, saat ini, ketika 65 tahun sudah pasal tersebut telah dirumuskan apakah cita-cita luhur tersebut telah terpenuhi?
Jika kita bahas lebih dalam lagi tentang bidang pertanahan dan sumber daya alam (SDA), sejak 50 tahun yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah pertuan perundangan, yakni Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 sebagai pengganti dari Agrarische Wet yang digunakan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan orientasi yang kuat pada kemakmuran masyarakat banyak, undang-undang ini mengatur dengan spesifik mengenai hak-hak kepemilikan dan penggunaan atas tanah dan SDA  yang terkandung padanya.


Bab II. Isi
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
Sedikitnya, ada tiga maksud utama sehubungan dengan dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria itu sendiri. Yang pertama, meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria secara nasional. Ini  dikarenakan selama ini hukum pertanahan masih bersifat parsial, yakni masing-masing daerah dapat menentukan hukum tanah sendiri.
Kedua, mengadakan kesatuan dan penyederhanaan prosedur dalam hukum pertanahan. Prosedur pertanahan harus dibuat sesederhana mungkin dan harus memihak kepada kaum yang lemah atau orang yang tidak banyak memiliki tanah.
Sedang ketiga, membuat kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Artinya, jika sebidang tanah sudah diurus hak-haknya secara sederhana, kemudian petugas memberikan tanda hak tersebut, maka orang lain tidak dapat mencabut atau mengambil dengan seenaknya.
Tujuan itu juga dimuat dalam pertimbangan UU Pokok Agraria yang esensinya menyerap dari Pasal 33 UUD 1945 dimana bumi dan air yang terkandung didalamnya dikuasai negara untuk menyejahterakan dan meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia.
Sejatinya, UUPA dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, hampir 80 persen UUPA mengatur pertanahan.
Di bidang pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan.
Pertama, belum tersedia cetak biru kebijakan pertanahan yang komprehensif. Berbagai peraturan disusun untuk mengatasi hambatan yang terjadi dan urgensi-urgensi lain. Adanya tenggat penyelesaian peraturan mendorong penyusunan peraturan tidak selalu dilandasi pada naskah akademik yang memuat kerangka konseptual sebagai dasar perumusan peraturan yang bersangkutan.
Kedua, arah dan strategi penyempurnaan UUPA belum tampak jelas. Kondisi yang dilematis ini perlu dicarikan solusinya.
Dengan adanya perkembangan di segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat diperlukan penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Kekuranglengkapan UUPA semestinya dilengkapi pada tahun – tahun berikutnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (misalnya : kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur pertanahan.
Sesunguhnya, dalam UU Pokok Agraria sudah jelas mengatur bahwa tanah, air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara, sebagai organisasi tertinggi seluruh rakyat.
Hak menguasai negara itu memberikan kewenangan untuk mengatur peruntukan tanah, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi dan air serta mengatur antara orang dengan perbuatan hukum.
Pasal 6 dan 7 UU No 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria (UUPA) yang menyebutkan, "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampau batas tidak diperkenankan".
Di sinilah UUPA dinilai belum mampu mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut sengketa atau konflik pertanahan di Indonesia. Terdapat jutaan tanah di seluruh penjuru nusantara yang belum jelas penataannya. Baik itu tanah perseorangan, tanah adat, atau pun tanah negara.
Saat ini terdapat sekitar 7.491 kasus pertanahan yang tercatat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ini semua meliputi 4.581 sengketa, 858 konflik dan 2.052 perkara yang jika ditaksir nilainya mencapai triliunan rupiah.
UUPA juga belum mencakup semua komponen yang dapat mensejahterakan rakyat, sehingga perlu dilengkapi dengan UU yang mampu mencakup semuanya.
Dengan adanya banyak kasus sengketa tanah, saat ini diperlukan undang-undang lainnya yang mampu menciptakan sistem pengelolaan pertanahan. Serta diperlukan juga adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan tanah sebagai sebuah aset.
Di dalam RUU Pertanahan yang akan disusun nantinya juga harus mengatur tanah sebagai sebuah aset baik dalam pengertian ekonomi maupun hukum.
Saat ini, tanah hanya dapat diperhitungkan bila berkaitan dengan obyek pajak dengan adanya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Dengan adanya penilaian aset, tanah akan lebih ternilai sebagai sebuah aset baik dari sisi ekonomi maupun hukum. Ini yang harus dikembangkan Indonesia ke depan, sebab negara-negara lain tetangga kita di Asia Tenggara sudah mulai melakukan hal tersebut.