BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Antropologi secara etimologis berasal dari
bahasa Yunani. Kata Anthropos berarti mansia dan logos berarti ilmu
pengetahuan. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh
karena itu antropologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu
pengetahuna sebelumnya.
Dalam
membandingkan kebudayaan-kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang menarik
perhatian untuk dipahami secara mendalam dalam konteks yang universal
adalah norma-norma yang selalu terumus
dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia sebagai pedoman, yang
diajarkan kepada warganya supaya diperhatikan dalam berperilaku. Hukum lahir
dari kebudayaan. Melihat hal tersebut di atas tentunya menyadarkan kepada kita
akan peran Antropologi Budaya sebagai sebuah perspektif untuk melihat berbagai
macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan ragam
kebudayaan.
Gambar 1.
Cabang-cabang Antropologi menurut Kontjaraningrat
Dalam
gambar 1 kita dapat mempelajari Antropologi Budaya berarti kita melihat sebuah
realitas, kenyataan atas kehidupan budaya yang sesungguhnya berjalan di
masyarakat yang didalamnya terdapat aturan hukum baik berasal dari hukum
tertulis maupun tidak tertulis. Satu hal yang dapat kita ambil dari antropologi
budaya, adalah diharapkan dapat memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya
keberagaman hukum karena beragamnya budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan
dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi patut dianggap
sebagai kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum
nasional. Di sisi lain akibatnya adalah memunculkan sikap toleransi untuk
menghargai umat manusia yang beragam pola fikir, karakter, pemahaman, dan
tentunya juga beragam hukum. Dalam makalah ini merupakan pemaparan peran budaya
hukum dalam proses pembangunan hukum, terutama di negara berkembang khususnya
di indonesia. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi pentingnya budaya hukum
dalam masyarakat yang menginginkan terjadinya reformasi hukum. Ini hanyalah sebatas sebuah konsep, makalah
ini disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun
1990-an.
BAB
II
PERMASALAHAN
Harus disadari bahwa hukum lahir dan
berkembang dari sebuah kebudayaan, sehingga akan menjadi logis bahwa tidak ada
hukum yang seragam, karena tidak ada kebudayaan yang bersifat seragam. Hukum
yang berlaku bagi masyarakat Batak tentu saja akan berbeda dengan hukum yang
berlaku pada masyarakat Minang, dan tentu saja akan berbeda dengan hukum yang
berlaku pada masyarakat Jawa dan Sunda, atau bahkan hukum yang berlaku pada
masyarakat Eskimo berbeda dengan hukum yang berlaku bagi masyarakat Indian di
Amerika. Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia tentunya memberlakukan hukum
secara seragam terhadap masyarakat yang memiliki berbagai ragam kebudayaan di
Indonesia akan menjadi tidak adil.
Dari
uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan pada makalah ini adalah:
1.
Seperti
apa hukum itu sendiri jika dilihat dari perspektif antropologi?
2.
Sejauh
mana peranan antropologi kebudayaan itu sendiri dalam perkembangan ilmu hukum?
3.
Apakah
dengan kenyataan adanya keberagaman budaya tidak akan menimbulkan pertentangan
hukum?
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Hukum
dan Pembangunan
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun
1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan dengan hubungan antara hukum dan
pembangunan, terutama negara-negara berkembang. Kaum ortodoks dan mayoritas
melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga
hukum modern negara barat kepada negara berkembang, memegang peran penting
dalam pembangunan ekonomi dan politik. Kaum minoritas melihat hukum terikat
dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam dari satu masyarakat ke
masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk
yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan sarjana asal Jerman,
Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara mempunyai kesatuan
oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui pembentukan
norma-norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik.
Pada
tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi topik yang hangat. Hal ini
tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara
maju terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang.
B.
Budaya Hukum
Suatu perspektif antropologi
menurut minat luas apra antropolog adalah minat mengenai masyarakat (sebagai
satuan sosial) atau kebudayaan (sebagai perangkat gagasan, aturan-aturan,
keyakinan-keyakinan yang dimiliki bersama). Freidman, seorang sosiolog hukum
dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga
komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum. Struktur mengacu
pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum merupakan badan,
kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem
pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hukum substansi mengacu
pada hukum peratutan prosedur dan substansi dan norma yang digunakan dalam
sebuah lembaga dan mengikat hukum struktur secara bersama. para pengacara dan
sarjana hukum cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan
substansi sistem hukum yang sedang mereka pelajari. Budaya hukum mengacu pada
sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem
hukum serta beberapa bagian hukum.
Dari ketiga komponen di atas,
budaya hukum merupakan komponen yang paling penting. Budaya hukum menentukan
kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses
hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya
hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan ramuan penting untuk mengubah
struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan hukum yang hidup.
Menambahkan budaya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau menyalakan
mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak. Namun demikian, konsep Friedman
bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang sarjana Inggris, mengatakan
bahwa konsep Friedman tidak mempunyai kekerasan dan secara teoritis tidak padu.
Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan bahwa tidak adanya
presisi dalam istilah budaya hukum tidak membuat konsep itu tidak padu.
Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan
presisi sama halnya dengan hukum
struktur, sistem hukum, dan opini publik.
Menurut Friedman, arti pentingya budaya hukum adalah
bahwa konsep ini merupakan variabel penting dalam proses menghasilkan hukum
statis dan perubahan hukum. Cotterrell menggarisbawahi kesulitan dalam
menggunakan konsep budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa
konsep tidak padu karena tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks µbudaya hukum cenderung
sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya hukum menembus
masyarakat dan bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell sendiri
mengakui bahwa konsep Friedman
µmerupakan usaha yang paling dapat menjelaskan konsep budaya hukum dalam
sosiologi hukum komparatif dan mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis
penggunaan konsep tersebut.
Di negara berkembang, konsep
budaya hukum menempati posisi penting karena negara berkembang sering
mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum dari negara barat
dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum mereka. Masalah
muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum setempat. Jika budaya hukum
lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan substantif asing, konsep ini
tidak akan dapat diterapkan dengan baik. Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di
Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh komentator luar negeri pada
awal tahun 1972. Jika kita melihat
Antropologi pada tahap awal perkembangannya dalam abad ke 19 sudah menyadari
bahwa hukum atau sistem normatif merupakan aspek kebudayaan atau dapat
dikatakan hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan.
Pada tahun 1982 mantan menteri
hukum dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama.
Namun setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum
dan baru sekarang diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia.
Keberhasilan
reformasi hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara,
tetapi juga sikap mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi
dan menggunakan lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum
tanpa lembaga budaya tidak akan efektif. Ketika melihat hukum di Indonesia, perhatian
dititikberatkan pada masalah structural, seperti sistem dewan dua pintu dan
ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 1995 dan
membandingkannya dengan produk hukum lainnya.
C.
Hubungan Ilmu Antropologi Dengan Ilmu Hukum
Dalam perspektif antropologi hukum, hukum
lahir dari kebudayaan. Melihat hal tersebut di atas tentunya menyadarkan kepada
kita akan peran Antropologi Hukum sebagai sebuah perspektif untuk melihat
berbagai macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak
dan ragam kebudayaan. Mempelajari Antropologi Hukum berarti kita melihat sebuah
realitas, kenyataan atas kehidupan hukum yang sesungguhnya yang berjalan di
masyarakat.
Hal
ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai
produk dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum
sebagai perilaku dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat.Hukum
dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari
kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk
dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain,
seperti politik, ekonomi, ideologi, religi,struktur sosial, dll.
Satu
hal yang dapat kita ambil dari antropologi hukum, adalah diharapkan dapat
memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena beragamnya
budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum
(conflict of laws), tetapi patut dianggap sebagai khazanah kekayaan hukum yang
akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum nasional. Di sisi lain
akibatnya adalah memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia yang
beragam pola fikir, karakter, pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas, maka
yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini adalah:
Budaya
hukum merupakan komponen yang paling penting Budaya hukum menentukan kapan,
mengapa dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses hukum
atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum.
Hukum
lahir dari kebudayaan, berarti menyadarkan kepada kita akan peran Antropologi
Budaya sebagai sebuah perspektif untuk melihat berbagai macam corak hukum yang
lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan ragam kebudayaan dan
Mempelajari Antropologi Budaya berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan
atas kehidupan budaya yang sesungguhnya berjalan di masyarakat yang didalamnya
terdapat aturan hukum baik berasal dari hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum dan gerakan pembangunan pada
tahun 1960-an sampai dengan 1970-an. Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa
reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga hukum modern
negara barat kepada negara berkembang, memegang peran penting dalam pembangunan
ekonomi dan politik. Sedangkan Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan
budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam dari satu masyarakat ke
masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk
yang bocor.
Beragamnya hukum tersebut jangan
dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi patut dianggap
sebagai khazanah kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui
hukum nasional
DAFTAR
PUSTAKA
Kontjarningrat,
1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta, Gramedia
Ahmad
fedyani saifuddin, Antropologi Kontemporer: suatu pengantar kritis mengenai
paradigma, Jakarta: Kencana, 2006. Hlm. 23.
T.O
Ihromi/E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Hlm.
1.
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982. Perihal Kaedah Hukum. Bandung, Alumni.
0 komentar:
Posting Komentar